KONSELING PERKAWINAN
A. Pengertian
Konseling Perkawinan
Klemer (1965) mengartikan konseling perkawinan
sebagai koneling yang di selenggarakannya sebagai metode pendidikan, metode
penurunan ketegangan emosional, metode membantu patner-patner yang menikah untuk
memecahkan masalah dan cdara menentukan pola pemecahan masdalah yang lebih
baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan karena konseling
perkawinan memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang
diri, pasangannya, dan masalah- masalah hubungan perkawinan yang dihadapi serta
cara- cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan perkawinan.
Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan sebagai
konseling perkawinan dilaksanakan biasanya saat kedua belah pihak berada pada
situasi emosional yang sangat berat. Dengan konseling, pasangan dapat melakukan
ventilasi, dengan jalan membuka emosionalnya sebagai katartis terhadap
tekanan-tekanan emosional yang dihadapi selama ini. Yang membantu disebut
konselor seorang konselor bukan subyek, karena konselor hanya membantu,
subyeknya adalah klien itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang dihadapi.
Yang dapat dilakukan oleh seorang konselor antara lain membantu klien untuk :
1. Memahami
diri sendiri.
2. Mengukur
kemampuannya.
3. Mengetahui
kesiapan dan kecenderungannya.
4. Memperjelas
orientasi, motivasi dan aspirasinya.
5. Mengetahui
kesulitan dan problem lingkungan dimana ia hidup, serta peluang yang terbuka
baginya.
6. Membantu
menggunakan pengetahuan tersebut (1 s/d 5) untuk menetapkan tujuan yang paling
kongkrit bagi dirinya.
7. Mendorong
klien untuk berani mengambil keputusan yang sesuai dengan kemampuannya, dan
memanfaatkan se optimal mungkin potensi yang ada pada dirinya untuk merebut
peluang yang terbuka.
Jika klien nya orang awam, konseling dibutuhkan
untuk :
a. Membantu
pengembangan diri dan memilih gaya hidup (life style) yang sesuai dengan
aspirasinya.
b. Menjaga
agar mereka tidak terjatuh pada keadaan merasa tidak wajar dan tidak bahagia.
c. Membantu
menentukan pilihan-pilihan.
d. Membantu
meringankan perasaan, frustrasi dn sebangsanya.
Seorang klien yang semula mengidap rasa
keterasingan, asing dari diri sendiri, asing dari problem yang dihadapi, asing
dari lingkungan hidupnya sehingga ia tidak tahu masalahnya dn tidak berani
mengambil tindakan bahkan tidak lagi tahu apa yang diinginkan, dapat dibantu
memecahkan persoalannya dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Diajak
memahami realita apa sebenarnya yang sedang dihadapi, mislnya ditinggal mati
orang yang dicintai, dicerai suami, kehilangan jabatan, kehilangan harta, kehilangan
kekasih, sakit yang berklepanjangan, dikhiananti bawahan, dizalimi oleh orang
yang selama ini dibantu dan sebagainya; bahwa realita itu adalah benar-benar
realita dan harus diterima, suka atau tidak suka karena itu memang realita.
2. Diajak
kembali mengenali siapa dirinya, apa posisinya, dan apa kemampuan-kemampuan
yang dimiliki. Misalnya diingatkan bahwa ia adalah seorang ayah dari anak-anak
yang membutuhkan kehadirannya. Atau bahwa kepandaiannya banyak dibutuhkan orang
lain, atau bahwa dia adalah hamba Allah yang tidak bisa menghindar dari
kehendak Nya, dan apa yang dialami adalah bagian dari kehendak Nya yang kita
belum tahu apa maksud dan hikmahnya.
3. Mengajak
klien memahami keadaan yang sedang berlangsung di sekitarnya, bahwa keadaan
memang selalu berubah; misalnya perubahan nilai, perubahan struktur, perubahan
zaman, dan bahwa perubahan adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak, tetapi
yang penting bagaimana kita mensikapi dan mengantisipasi perubahan itu.
4. Diajak
untuk meyakini bahwa Tuhan itu Maha Adil, maha Pengasih, maha Mengetahui, maha
Pengampun, dan semua manusia diberi peluang oleh Tuhan. Juga diajak meyakini
bahwa dengki, iri hati dan putus asa adalah tercela dan tidak berguna. Bahwa
berbuat dan salah itu lebih baik daripada tidak berbuat karena takur salah.
B. Wilayah
Konseling Perkawinan
Problem diseputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga
biasanya berada di sekitar :
1.
Kesulitan memilih jodoh, suami atau
isteri.
2.
Ekonomi yang kurang mencukupi.
3.
Perbedaan watak, temperamen dan karakter
yang terlalu tajam antara suami dan isteri.
4.
Ketidakpuasan dalam hubungan seksual.
5.
Kejenuhan rutinitas.
6.
Hubungan antar keluarga besan yang
kurang baik.
7.
Ada orang ketiga, WIL atau PIL.
8.
Masalah harta warisan.
9.
Dominasi orang tua/mertua.
10. Kesalahpahaman
antara suami isteri.
11. Poligami.
12. Perceraian
C. Tujuan
Umum Konseling Perkawinan
Tujuan konselingperkawinan adalah agar klien dapat
menjalani kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi
problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka
konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati atau
menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup
berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri
menyadari kembali posisi masing- masing dalam keluarga dan mendorong mereka
untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi
juga untuk keluarganya. Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling
perkawinan diberikan dengan tujuan :
1. Membantu
pasangan perkawinan itu mencegah terja¬dinya/meletus problema yang mengganggu
kehidupan perkawinan mereka.
2. Pada
pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, Konseling diberikan dengan
maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
3. Pada
pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka
dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.
D. Tipe
tipe Perkawinan
1. Conflict-habituated
Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.
Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.
2. Devitalized
Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Karena kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berfikir bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.
Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Karena kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berfikir bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.
3. Passive-congenial
Pada dasarnya, pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.
Pada dasarnya, pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.
4. Utilitarian
Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang hubungan. Misalkan peran sebagai ibu, ayah atau peran-peran lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.
Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang hubungan. Misalkan peran sebagai ibu, ayah atau peran-peran lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.
5. Vital
Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.
Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.
6. Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital, bedanya pasangan ini sedemikian saling menyatu hingga menjadi “sedaging”. Mereka selalu dalam kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital, bedanya pasangan ini sedemikian saling menyatu hingga menjadi “sedaging”. Mereka selalu dalam kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.
E. Penghulu
yang ideal
Penghulu bukan hanya petugas pencatat nikah, tetapi
jabatan kepenghuluan memiliki wilayah horizontal dan vertical. Oleh karena itu
idealnya seorang penghulu bukan saja menguasai bidang-bidang tersebut diatas (1
s/d 12) tetapi juga menguasai psikologi keluarga, yang dengan itu penghulu
bukan hanya bisa memberi nasehat perkawinan, tetapi juga bisa menjadi konselor
perkawinan . Seorang muballigh dituntut untuk mampu berbicara agar orang-orang
enak mendengarnya, sedang seorang konselor dituntut untuk sangggup menjadi
pendengar yang baik dari keluhan-keluhan klien. Seorang klien terkadang tidak
membutuhkan nasehat, tetapi hanya butuh tempat curah perhatian (curhat), karena
begitu curhat beban menjadi ringan. Jika sudah merasa ringan kok dinasehati,
maka nasehat itu sendiri menjadi beban.
KONSELING KELUARGA
A. Pengertian
Konseling Keluarga
Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh
seseorang pembimbing (konselor) kepada seseorang konseli atau sekelompok
konseli (klien, terbimbing, seseorang yang memiliki problem) untuk mengatasi
problemnya dengan jalan wawancara dengan maksud agar klien atau sekelompok
klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan memecahkan
problemnya sendiri sesuai dengan kemampuannya dengan mempelajari saran-saran
yang diterima dari Konselor. Sedangkan arti dari keluarga adalah suatu ikatan
persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan
jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang
sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi
dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga ini secara memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konselor terutama konselor non keluarga, yaitu konseling keluarga sebagai (1) sebuah modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan ( Capuzzi, 1991 )
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga ini secara memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konselor terutama konselor non keluarga, yaitu konseling keluarga sebagai (1) sebuah modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan ( Capuzzi, 1991 )
Konseling keluarga memandang keluarga secara
keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan
dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun penyelesaiannya.
Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga akan
efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Pada mulanya konseling
keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar dapat beradaptasi lebih
baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan lingkungan keluarganya
(Brammer dan Shostrom,1982). Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki
masalah pertumbuhan di dalam keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi adalah
menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang akan dikerjakan agar tetap survive di
dalam sistem keluarganya.
Pada masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling
keluarga terfokus pada salah satu atau dua hal, yaitu (1) keluarga terfokus
pada anak yang mengalami bantuan yang berat seperti gangguan perkembangan dan
skizofrenia, yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan; dan (2) keluarga
yang salah satu atau kedua orang tua tidak memiliki kemampuan, menelantarkan
anggota keluarganya, salah dalam member kelola anggota keluarga, dan biasanya
memiliki sebagian masalah.
Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami
masalah dan berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah tekanan dan
kekuasaan orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh orang tua dan
sering kali tidak diketahui orang tua. Permasalahan yang diketahui orang tua
jika fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu orang tua akan
mengantarkan anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang
mengalami gangguan yang berat. Karena itu konseling keluarga lebih banyak
memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan anak yang mengalami gangguan.
Hal kedua berhubungan dengan keadaan orang tua.
Banyak dijumpai orang tua tidak berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya,
menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang
berkesinambungan dan penuh konflik, atau memberi perlakuan secara salah (ubuse)
pada anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki
berbagai masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan
keluarga yanag lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.
Perkembangan belakangan konseling keluarga tidak
hanya menangani dua hal tersebut. Permasalahan lain yang juga ditangani karena
anggota keluarga mengalami kondisi yang kurang harmonis di dalam keluarga
akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur
keluargannya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan
pengalaman dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi dan
dikonsultasikan kepada konselor antara lain: keluarga dengan anak yang tidak
patuh terhadap harapan orangtua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan
diantara anggota keluarga karena kerja di luar daerah dan anak yang mengalami
kesulitan belajar atau sosialisasi.
Berbagai permasalahan-permasalahan keluarga tersebut
dapat diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi
efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut jika semua anggota keluarga
bersedia untuk mengubah system keluarganya yang telah ada dengan cara-cara baru
untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah.
Sebagaimana di kemukakan di bagian awal, konseling
keluarga dalam beberapa hal memiliki keuntungan. Namun demikian konseling
keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, dan perlu
dipertimbangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya. Hambatan yang
dimaksud di antarannya:
1. Tidak
semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena mereka
menganggap tidak berkepentingan dengan usaha ini, atau karena alasan kesibukan,
dan sebagainya; dan
2. Ada
anggota keluarga yang merasa kasulitan untuk menyampaikan perasaan dan sikapnya
secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling membutuhkan
keterbukaan ini dan saling percayaan satu sama lain.
B. Pendekatan
Konseling Keluarga
Untuk memahami mengapa suatu keluarga bermasalah dan
bagaimana cara mengatasi masalah-masalah keluarga tersebut, berikut akan
dideskripsikan secara singkat beberapa pendekatan konseling keluarga. Tiga
pendekatan konseling keluarga yang akan diuraikan berikut ini, yaitu pendekatan
system, conjoint, dan struktural.
1. Pendekatan
Sistem Keluarga.
Murray Bowen merupakan
peletek dasar konseling keluarga pendekatan sistem. Menurutnya anggota keluarga
itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfunctining family).
Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya
dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bowen, dalam
keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan
kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada
individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem
keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami
kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak
fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian
dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.
2. Pendekatan
Conjoint.
Sedangkan menurut Sarti
(1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan harga
diri (self-esteem) dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting
bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadijika self-esteem
yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang terjadi di
keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan pandangannya ini berangkat dari
asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan
mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
3. Pendekatan
Struktural.
Minuchin (1974)
beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena struktur kaluarga dan
pola transaksi yang dibangunn tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur
dan transaksi ini batas-batas antara subsistem dari sistem keluarga itu tidak
jelas.
Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat masalah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya. Berangkat dari analisis terhadap masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan strategi yang tepat untuk mambantu keluarga.
Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat masalah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya. Berangkat dari analisis terhadap masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan strategi yang tepat untuk mambantu keluarga.
C. Tahapan
Konselor Keluarga
Tahapan konseling keluarga secara garis besar
dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan konseling
keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem,
Crane menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terhadap empat tahap
secara berturut-turut sebagai berikut :
1. Orangtua
membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini
dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran.
2. Setelah
orang tua membaca tentang prinsip dan atau telah dijelaskan materinya, konselor
menunjukan kepada orang tua bagaimana cara mengajarkan kepada anak, sedangkan
orang tua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang
bagaimana hal inidikerjakan. Secara tipikal, orang tua akan membutuhkan contoh
yang menunjukan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi. Sangat
penting menunjukan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan
menetapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
3. Selanjutnya
orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka
pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat member koreksi
ika dibutuhkan.
4. Setelah
terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak secara tepat.
Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba menerapkannya di
rumah. Saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati
kemajuan yang dicapai. Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orang tua
dapat ditanyakan pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut,
terapis dapat memberikan contoh lanjutan di rumah dan observasi orang tua,
selanjutnya orang tua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya
mengatasi persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.
D. Peran
Konselor
Peran
konselor dalam membantu klien dalam konseling keluarga dan perkawinan
dikemukakan oleh Satir (Cottone, 1992) di antaranya sebagai berikut :
1. Konselor
berperan sebagai “facilitative a comfortable”, membantu klien melihat secara
jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
2. Konselor
menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi.
Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
3. Membelajarkan
klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggung jawab dan malakukan
self-control.
4. Konselor
menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan
menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga.
5. Konselor
menolak perbuatan penilaian dan pembantu menjadi congruence dalam respon-respon
anggota keluarga.
Daftar Pustaka
Latipun. 2006. Psikologi Konseling
Malang. UPT. Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang.
Latipun. 2001. Psikologi Konseling.
Universitas Muhammadiyah Malang. Malang
Pujosuwarno, Sayekti. 1994. Bimbingan Dan
Konseling Keluarga. Menara Mas
Offset. Yogyakarta
Offset. Yogyakarta
Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan
Konseling Perkawinan. Andi Offset. Yogyakarta.
Http://www.google.com/Konseling+Perkawinan/
Terima kasih untuk pencerahannya. Kami hadir untuk merawat pernikahan Anda. Kunjungi: https://familyinsightindonesia.org/ Terima kasih.
BalasHapus